Selasa, 23 Desember 2014

makalah Qadha dan Qadar


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sebagai manusia kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Banyak kejadian yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan kita sebagi manusia. Seperti bencana alam yang beberapa kali sempat melanda negeri kita Indonesia. Gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin ribut dan bencana-bancana lain yang telah melanda bangsa kita adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah SWT. Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT.
  Manusia harus memikirkan kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan Ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, dan berusaha keras untuk menggapai cita-cita tertinggi yang diinginkan setiap muslim yaitu melihat Rabbul’alamin dan menjadi penghuni Surga.
Rukun iman yang keenam, atau tingkatan kepercayaan yang paling akhir ialah qadha dan qadar. Ringkasan kepercayaan ini ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam alam ini atau terjadi pada diri kita manusia sendiri, buruk dan baik, naik dan jatuh, senang dan sakit, dan segala gerak-gerik hidup kita, semuanya tidaklah lepas pada “taqdir” atau ketentuan Illahi. Tidak lepas dari pada qadar artinya jangka yang telah tertentu, dan qadha artinya ketentuan.
Karena itu kami sebagai penyusun memilih materi ini untuk dikupas dan dalam rangka mendalami rukun iman yang keenam untuk mempercayai Qadha dan Qadar.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Qadha dan Qadar?
2. Bagaimana dasar pembahasan Qadha dan Qadar?
3. Apa saja perilaku yang mencerminkan iman kepada Qadha dan Qadar?
4. Apa manfaat mengimani Qadha dan Qadar?

1.3 TUJUAN KAJIAN
  1. Mempelajari Qadha dan Qadar bertujuan untuk lebih memahami pengertian Qadha dan Qadar secara utuh.
  2. Dapat mengetahui bagaimana dasar pembahasan Qadha dan Qadar.
  3. Dapat menjalani hidup lebih baik lagi dalam mengimani rukun iman terutama rukun iman yang ke-enam yaitu Qadha dan Qadar.
  4. Dapat mengetahui manfaat mengimani Qadha dan Qadar.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Qadha dan Qadar Serta Kaitan di Antara Keduanya

Qadar
Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd: Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). 
Menurut Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir atau puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah: akhir atau puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai' aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdiir.” 
Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah Qadha' (kepastian) dan hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dari qadha' (kepastian) dan hukum-hukum dalam berbagai perkara. Takdir adalah merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu. Qadar itu sama dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar. 
Qadar, menurut istilah ialah Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya.  Atau  sesuatu yang telah diketahui sebelumnya dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir masa. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal yang akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali. Allah SWT pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat ter-tentu pula, maka hal itu pun terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya.  Atau Ilmu Allah, catatan takdir-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut.

Qadha'
Qadha', menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan. Asal maknanya adalah: Memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyelesaikannya. Maknanya adalah mencipta.

Kaitan Antara Qadha' dan Qadar

1. Dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan qadar ialah takdir, dan yang dimaksud dengan qadha’ ialah penciptaan, sebagaimana firman Allah SWT.
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ
"Maka Dia menjadikannya tujuh langit… ." [Fushshilat/41 : 12]
Qadha' dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha'. Barang siapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. 
2. Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha' ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. 
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha' adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.’” 
3. Dikatakan, jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di dalam pengertiannya. 

2.2 Dasar Pembahasan Masalah ‘Qadha dan Qadar’

Sesungguhnya, apabila kita meneliti masalah ‘qadha dan qadar’ (sebagai suatu istilah baru, yang memiliki makna tersendiri) akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar berdirinya pembahasan ini atau dengan kata lain, apa yang menjadi dasar pembahasan dalam permasalahan qadha dan qadar ini.
Sesungguhnya, dasar pembahasan atau permasalahan ini adalah pertanyaan : 
“Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan (atau meninggalkan) suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih?”
Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah ‘qadha dan qadar’, yaitu ‘perbuatan manusia’. Karena ‘perbuatan manusia’ merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnya pun bersifat aqli. Dengan demikian jelaslah permasalahan yang akan dibahas dalam  tema ‘qadha dan qadar’ ini.
Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian-kejadian yang Menimpa Manusia
Sesungguhnya, apabila kita meneliti suatu perbuatan atau kejadian, yang dilakukan atau yang menimpa manusia, akan kita jumpai bahwasanya manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan yaitu :
a. Perbuatan yang berada di bawah kontrol manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri
b. Perbuatan yang berada di luar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada di luar kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya.
Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama mudah diketahui misalnya, apakah kita mau duduk atau berjalan, makan-minum atau tidak, minum sirup atau khamr, berbakti atau durhaka kepada orang tua, belajar atau tidak dan lain-lain. Seluruh perbuatan ini, jelas dilakukan atas kesadaran dan kesukarelaan manusia, tanpa paksaan dari pihak manapun. Pada jenis perbuatan yang kedua manusia tidak memiliki peran apapun atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya, sukarela maupun terpaksa, karena memang berada di luar kekuasaan manusia. Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian kedua ini terdiri dari dua bentuk. 
Pertama, kejadian yang ditentukan oleh ‘nidzom wujud’ (Sunnatullah atau peraturan alami); misalnya ia lahir dari seorang ibu dengan bentuk fisik dan warna kulit tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi, ia tidak dapat terbang dan bernafas dalam air, dsb.
Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, seperti seseorang yang terjatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang yang tertimpa tersebut meninggal, atau seperti halnya kecelakaan pesawat, kereta api dan mobil disebabkan karena kerusakan mendadak, baik yang berasal dari manusia atau yang malah di luar kemampuannya; meskipun tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, akan tetapi semua kejadian itu tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya. 
Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol manusia tersebut inilah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang meng-’qadha’ (memutuskannya). Terlepas apakah hal atau keputusan itu menjadi kebaikan (qadha yang baik) atau keburukan (qadha yang buruk), menurut penafsiran manusia. Yang jelas, kebaikan atau keburukan tersebut bukan menimpa kita karena adanya ‘hari baik’, hari sial, memakai jimat atau mantra dsb. Semua itu diputuskan oleh Allah untuk menimpa kita. Inilah qadha Allah SWT, dan tidak ada satu makhlukpun yang dapat menentukan hal ini selain Allah semata.
Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Meskipun kejadian tersebut mengandung manfaat atau kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia tidak akan dihisab atas kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian tersebut, serta tidak tahu menahu mengenai kejadian tersebut, bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Iapun tidak memiliki kemampuan sama sekali unuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, dan bahwasanya qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain. Itulah pengertian qadha (dalam pembahasan istilah ‘qadla dan qadar’ yang digabungkan ini). 

Kewajiban Beriman Kepada Takdir

Dalam hadist shahih disebutkan dari Rasulullah saw. Bahwa beriman dengan takdir adalah satu bagian dari bab aqidah.
Umar bin Khatab r.a. menceritakan bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw didatangi oleh seorang lelaki yang pakaiannya serba putih, rambutnya sangat hitam, bekas perjalanannya tidak terlihat dan tidak seorang dari para sahabat yang hadir disitu ada yang mengenalnya, lalu ia mengungkapkan beberapa pertanyaan. Selain perihal mengenai rukun-rukun Islam, juga rukun-rukun Iman dan Ihsan. Mengenai rukun-rukun keimanan ini, ia berkata : “Beritahukanlah Saya tentang hal keimanan”.
 Rasulullah saw lalu menjawab: 
ان تؤمن بالله والملائكته وكتبه ورسوله واليوم الأخر والقدر خيره و شره
“Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabnya, rasul-rasulNya, hari akhir dan beriman pula kepada kadar (takdir) yang baik ataupun yang buruk. (Hadist Riwayat Muslim)
Orang tersebut adalah Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat beliau saw dengan jalan tanya jawab
Makna yang gamblang dari pada takdir itu ialah bahwa Allah Ta’ala membuat beberapa ketentuan. Peraturan dan undang-undang yang diterapkan untuk segala yang maujud ini dan bahwa segala sesuatu yang maujud itu pasti akan berlaku, beredar, dan berjalan tepat dan sesuai dengan apa-apa yang telah dipastikan dalam ketentuan, peraturan dan undang-undang tadi.

Hikmat Keimanan Kepada Takdir 

Adapun hikmatnya keimanan kepada takdir itu ialah supaya kekuatan dan kecakapan manusia itu dapat mencapai kepada pengertian untuk menyadari adanya peraturan dan ketentuan-ketentuan tuhan, kemudian dilaksanakan untuk membina dan membangun dengan bersendikan itu, juga untuk mengeluarkan harta benda yang terdapat dalam perbendaharaan bumi agar dapat diambil manfaatnya. Selain itu agar dapat pula digali segala kebaikan dari benda-benda yang terdapat di dalam semesta ini.
Dengan demikian maka keimanan kepada takdir itu merupakan suatu kekuatan yang dapat membangkitkan kegiatan bekerja dan kegairahan berusaha, malahan dapat merupakan dorongan positif untuk memperoleh kehidupan yang layak dan pantas didunia ini, sebagaimana halnya keimanan kepada takdir itu akan menghubungkan manusia dengan Tuhan yang Maha Menguasai seluruh sesuatu yang nyata. Sehingga manusia dapat mengangkat dirinya kepada sifat-sifat yang luhur dan mulia. Akhirnya ia akan menjadi seorang yang enggan diperintah, tabah menghadapi kesukaran, berani membela yang hak, berhati baja untuk merealisasikan hal-hal yang benar serta melaksanakan kewajiban yang diberikan kepadanya
Beriman kepada takdir itu akan memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini hanyalah berjalan sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan oleh Dzat yang Maha Tinggi. Oleh sebab itu, jikalau ia tertimpa kemadlaratan, ia pun tidak akan menyesal, tetapi sebaliknya jikalau ia dilimpahi pertolongan dan keuntungan, ia pun tidak bergembira sehingga lupa daratan. Manakala seseorang itu sudah tidak bersifat seperti kedua hal diatas yakni tidak menyesal, lemah atau lumpuh karena timbulnya keburukan yang tidak diharapkan, juga tidak gembira yang melampaui batas karena mendapat pertolongan dan keuntungan, maka dari itu seorang manusia yang lurus, terpuji, dapat mencapai keluhuran dan ketinggian yang teratas. Inilah yang dituju dalam arti firman Allah SWT dalam Al-Hadid ayat 22-23
ما أصاب من مصيبة فالآرض ولا فى انفسكم الا في كتاب من قبل ان نبرأها. ان ذالك على الله يسير. لكيلا تأسوا علي مافاتكم ولا تفرحوا بما اتكم.والله لا يحب كل مختال فخور

Yang artinya:
“Tidak ada suatu mushibah (bencana) yang terjadi di bumi atau yang mengenai dirimu semua itu melainkan telah, tercantum dalam kitab catatan sebelum kami laksanakan terjadinya. Sesungguhnya hal yang sedemikian itu bagi Allah adalah suatu hal yang mudah sekali
“Perlunya ialah supaya kamu semua tidak berduka cita terhadap apa yang lepas dari tanganmu dan tidak pula bangga terhadap apa yang diberikan oleh Allah padamu. Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong serta membanggakan diri sendiri.”
2.3 Perilaku beriman kepada qadha dan qadhar
a. Qana’ah Dan Kemuliaan Diri.
Seseorang yang beriman kepada qadar mengetahui bahwa rizkinya telah tertuliskan, dan bahwa ia tidak akan meninggal sebelum ia menerima sepenuhnya, juga bahwa rizki itu tidak akan dicapai oleh semangatnya orang yang sangat berhasrat dan tidak dapat dicegah oleh kedengkian orang yang dengki. Ia pun mengetahui bahwa seorang makhluk sebesar apa pun usahanya dalam memperoleh ataupun mencegahnya dari dirinya, maka ia tidak akan mampu, kecuali apa yang telah Allah tetapkan baginya.
Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang telah diberikan, kemuliaan diri dan baiknya usaha, serta membebaskan diri dari penghambaan kepada makhluk dan mengharap pemberian mereka.
Hal tersebut tidak berarti bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemulian, tetapi yang dimaksudkan dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia menempuh usaha, jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa malunya.
Apabila seorang hamba dikaruniai sikap qana’ah, maka akan bersinarlah cahaya kebahagiaan, tetapi apabila sebaliknya (apabila ia tidak memiliki sikap qana’ah), maka hidupnya akan keruh dan akan bertambah pula kepedihan dan kerugiannya, disebabkan oleh jiwanya yang tamak dan rakus. Seandainya jiwa itu bersikap qana’ah, maka sedikitlah musibahnya. Sebab orang yang tamak adalah orang yang terpenjara dalam keinginan dan sebagai tawanan nafsu syahwat.

Kemudian, bahwa qana’ah itu pun dapat menghimpun bagi pelakunya kemuliaan diri, menjaga wibawanya dalam pandangan dan hati, serta mengangkatnya dari tempat-tempat rendah dan hina, sehingga tetaplah kewibawaan, melimpahnya karamah, kedudukan yang tinggi, tenangnya bathin, selamat dari kehinaan, dan bebas dari perbudakan hawa nafsu dan keinginan yang rendah. Sehingga ia tidak mencari muka dan bermuka dua, ia pun tidak melakukan sesuatu kecuali hal itu dapat menambah imannya, dan hanya kebenaranlah yang ia junjung.
Di antara kalimat yang indah berkenaan dengan hal ini adalah sya’ir yang dinisbatkan kepada Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu: Qana’ah memberikan manfaat kepadaku berupa kemuliaan adakah kemuliaan yang lebih mulia dari qana’ah Jadikanlah ia sebagai modal bagi dirimu kemudian setelahnya, jadikanlah takwa sebagai barang dagangan. Niscaya akan engkau peroleh keuntungan dan tidak perlu memelas kepada orang yang bakhil Engkau akan memperoleh kenikmatan dalam Surga dengan kesabaran.
Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullahu: Aku melihat qana’ah sebagai perbendaharaan kekayaan maka aku pegangi ekor-ekornya Tidak ada orang yang melihatku di depan pintunya dan tidak ada orang yang melihatku bersungguh-sungguh dengannya Aku menjadi kaya dengan tanpa dirham dan aku berlalu di hadapan manusia seperti raja. Tsa’alabi berkata, “Sebaik-baik ucapan yang saya dengar tentang qana’ah ialah ucapan. Ibnu Thabathaba al-‘Alawi: Jadilah engkau orang yang qana’ah dengan apa yang diberikan kepadamu maka engkau telah berhasil melewati kesulitan qana’ah orang yang hidup berkecukupan Sesungguhnya usaha dalam mencapai angan, nyaris membinasakan dan kebinasaan seseorang terletak dalam kemewahan.
b. Cita-Cita Yang Tinggi.
Maksud dari cita-cita yang tinggi adalah menganggap kecil apa yang bukan akhir dari perkara-perkara yang mulia. Sedangkan cita-cita yang rendah, yaitu sebaliknya dari hal itu, ia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna, ridha dengan kehinaan, dan tidak berusaha tuk menggapai perkara-perkara yang mulia. Iman kepada qadar membawa pelakunya kepada kemauan yang tinggi dan menjauhkan mereka dari kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah kepada yang dinamakan dengan takdir.
Karena itu, Anda melihat orang yang beriman kepada qadar dengan keimanan yang benar adalah tinggi cita-citanya, besar jiwanya, mencari kesempurnaan, dan menjauhi perkara-perkara remeh dan hina. Ia tidak rela kehinaan untuk dirinya, tidak puas dengan keadaan yang pahit lagi menyakitkan, dan tidak pasrah terhadap berbagai aib dengan dalih bahwa takdir telah menentukannya. Bahkan keimanannya mengharuskannya untuk berusaha bangkit, mengubah keadaan yang pahit serta menyakitkan kepada yang lebih baik dengan cara-cara yang disyari’atkan, dan untuk terbebas dari berbagai aib dan kekurangan. Karena berdalih dengan takdir hanyalah dibenarkan pada saat tertimpa musibah, bukan pada aib-aib (yang dilakukannya)
c. Bertekad Dan Bersungguh-Sungguh Dalam Berbagai Hal. 
Orang yang beriman kepada qadar, ia akan bersungguh-sungguh dalam berbagai urusannya, memanfaatkan peluang yang datang kepadanya, dan sangat menginginkan segala kebaikan, baik akhirat maupun dunia. Sebab, iman kepada qadar mendorong kepada hal itu, dan sama sekali tidak mendorong kepada kemalasan dan sedikit beramal. Bahkan, keimanan ini memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong para tokoh untuk melakukan pekerjaan besar, yang mereka menduga sebelumnya bahwa kemampuan mereka dan berbagai faktor yang mereka miliki pada saat itu tidak cukup untuk menggapainya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah! Jika sesuatu menimpamu, janganlah mengatakan, 'Seandainya aku melakukan, niscaya akan demikian dan demikian.' Tetapi katakanlah, 'Ini takdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.
d. Bersikap Adil, Baik Pada Saat Senang Maupun Susah. 
Iman kepada qadar akan membawa kepada keadilan dalam segala keadaan, sebab manusia dalam kehidupan dunia ini mengalami keadaan bermacam-macam. Adakalanya diuji dengan kefakiran, adakalanya mendapatkan kekayaan yang melimpah, adakalanya menikmati kesehatan yang prima, adakalanya diuji dengan penyakit, adakalanya memperoleh jabatan dan popularitas, dan adakalanya setelah itu dipecat (dari jabatan), hina, dan kehilangan nama.
Perkara-perkara ini dan sejenisnya memiliki pengaruh dalam jiwa. Kefakiran dapat membawa kepada kehinaan, kekayaan bisa mengubah akhlak yang baik menjadi kesombongan, dan perilakunya menjadi semakin buruk. Sakit bisa mengubah watak, sehingga akhlak menjadi tidak lurus, dan seseorang tidak mampu tabah bersamanya. Demikian pula kekuasaan dapat mengubah akhlak dan meng-ingkari sahabat karib, baik karena buruknya tabiat maupun sem-pitnya dada.
Sebaliknya dari hal itu ialah pemecatan. Adakalanya hal itu dapat memburukkan akhlak dan menyempitkan dada, baik karena kesedihan yang mendalam maupun karena kurangnya kesabaran.Begitulah, keadaan-keadaan tersebut menjadi tidak lurus pada garis keadilan, karena keterbatasan, kebodohan, kelemahan, dan kekurangan dalam diri hamba tersebut.
  Kecuali orang yang beriman kepada qadar dengan sebenarnya, maka kenikmatan tidak membuatnya sombong dan musibah tidak membuatnya berputus asa, kekuasaan tidak membuatnya congkak, pemecatan tidak menurunkannya dalam kesedihan, kekayaan tidak membawanya kepada keburukan dan kesombongan, dan kefakiran pun tidak menurunkannya kepada kehinaan.
Orang-orang yang beriman kepada qadar menerima sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu, dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala, bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata, “Aku memasuki waktu pagi, sedangkan kebahagiaan dan kesusahan sebagai dua kendaraan di depan pintuku, aku tidak peduli yang manakah di antara keduanya yang aku tunggangi.”

e. Selamat Dari Kedengkian Dan Penentangan. 
Iman kepada qadar dapat menyembuhkan banyak penyakit yang menjangkiti dikalangan masyarakat, di mana penyakit itu telah menanamkan kedengkian di antara mereka, misalnya hasad yang hina. Orang yang beriman kepada qadar tidak dengki kepada manusia atas karunia yang Allah berikan kepada mereka, karena keimanan-nya bahwa Allah-lah yang memberi dan menentukan rizki mereka. Dia memberikan dan menghalangi dari siapa yang dikehendaki-Nya, sebagai ujian. Apabila dia dengki kepada selainnya, berarti dia me-nentang ketentuan Allah. Jika seseorang beriman kepada qadar, maka dia akan selamat dari kedengkian, selamat dari penentangan terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i (syari’at) dan ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah), serta  tawakkal .

2.3 Tanda-tanda orang yang Beriman kepada Qada dan qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain: 

a) banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian 
Firman Allah: 
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).

b) Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT: Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)

c) Bersifat optimis dan giat bekerja.
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
Firaman Allah: 
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)

d) Jiwanya tenang
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha.
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)

2.5 Konsep Takdir menurut beberapa aliran islam

1. Aliran Jabbariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya

2. Aliran Qaddariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.

3. Aliran Al Asyari’ah
Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Aliran Ahlu sunnah ini adalah pertengahan diantara dua konsep yang dimiliki dua aliran di atas. Menurut Ahlu Sunnah konsep takdir memang ditentukan oleh dzat diluar kemampuan manusia, yaitu tuhan. Hanya saja takdir itu sendiri dapat diubah dengan kesungguhan manusia, bila manusia tidak berusaha dalam mengubah takdirnya ia akan berakhir sia-sia, dan termasuk golongan orang-orang yang merugi. 

2.6 Manfaat mengimani Qadha dan Qadar
Dengan mengimani qadha dan qadar, kita dapat mengambil beberapa manfaat, antara lain :
1. dapat membangkitkan semangat dalam bekerja dan berusaha, serta memberikan dorongan untuk memperoleh kehidupan yang layak di dunia ini.
2. Tidak membuat sombong atau takabur, karena ia yakin kemampuan manusia sangat terbatas, sedang kekuasaan Allah Maha Tinggi.
3. Memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berjalan sesuai dengan ketentuan dan kehendak Allah SWT.
4. mempunyai keberanian dan ketabahan dalam setiap usaha serta tidak takut menghadapi resiko, karena ia yakin bahwa semua itu tudak terlepas dari takdir Allah SWT.
5. Selalu merasa rela menerimasetiap yang terjadi pada dirinya, karena ia mengerti bahwa semua berasal dari Allah SWT. Dan akan dikembalikan kepadanya , sebagai man firman Allah SWT

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi dapat disimpilkan bahwa iman adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Kalau kita melihat qada’ menurut bahasa artinya Ketetapan. Qada’artinya ketetapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya yang bersifat Azali. Azali Artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnya keberadaan atau kelahiran mahluk. Sedangkan Qadar artinya menurut bahasa berarti ukuran. Qadar artinya terjadi penciptaan sesuai dengan ukuran atau timbangan yang telah ditentukan sebelumnya. Qada’ dan Qadar dalam keseharian sering kita sebut dengan takdir.  Jadi, Iman kepada qada’ dan qadar adalah percaya sepenuh hati bahwa sesutu yang terjadi, sedang terjadi, akan terjadi di alam raya ini, semuanya telah ditentukan Allah SWT sejak jaman azali. 
Hal yang dapat memutuskan harapan kepada makhluk dari hati adalah ridha dengan pembagian Allah Azza wa Jalla (qana’ah). Barangsiapa ridha dengan hukum dan pembagian Allah, maka tidak akan ada tempat pada hatinya untuk berharap kepada makhluk.

Daftar pustaka
Sabiq, Sayyid. 2010. Aqidah Islam (Ilmu Tauhid) Cetakan XVIII. Bandung: Penerbit Diponegoro.
http://almanhaj.or.id/content/2168/slash/0/definisi-qadha-dan-qadar-serta-kaitan-di-antara-keduanya/
http://hbis.wordpress.com/2007/12/10/iman-kepada-qadha-dan-qadar/
http://leniblogs.blogspot.com/2013/02/iman-kepada-qadha-dan-qadar.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Qada_dan_Qadar

1 komentar:

Unknown mengatakan...

makasih infonya
membantu bnget dehh

Posting Komentar