Selasa, 23 Desember 2014

makalah Qadha dan Qadar


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sebagai manusia kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan. Banyak kejadian yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan kita sebagi manusia. Seperti bencana alam yang beberapa kali sempat melanda negeri kita Indonesia. Gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin ribut dan bencana-bancana lain yang telah melanda bangsa kita adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah SWT. Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah SWT.
  Manusia harus memikirkan kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan Ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, dan berusaha keras untuk menggapai cita-cita tertinggi yang diinginkan setiap muslim yaitu melihat Rabbul’alamin dan menjadi penghuni Surga.
Rukun iman yang keenam, atau tingkatan kepercayaan yang paling akhir ialah qadha dan qadar. Ringkasan kepercayaan ini ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam alam ini atau terjadi pada diri kita manusia sendiri, buruk dan baik, naik dan jatuh, senang dan sakit, dan segala gerak-gerik hidup kita, semuanya tidaklah lepas pada “taqdir” atau ketentuan Illahi. Tidak lepas dari pada qadar artinya jangka yang telah tertentu, dan qadha artinya ketentuan.
Karena itu kami sebagai penyusun memilih materi ini untuk dikupas dan dalam rangka mendalami rukun iman yang keenam untuk mempercayai Qadha dan Qadar.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian Qadha dan Qadar?
2. Bagaimana dasar pembahasan Qadha dan Qadar?
3. Apa saja perilaku yang mencerminkan iman kepada Qadha dan Qadar?
4. Apa manfaat mengimani Qadha dan Qadar?

1.3 TUJUAN KAJIAN
  1. Mempelajari Qadha dan Qadar bertujuan untuk lebih memahami pengertian Qadha dan Qadar secara utuh.
  2. Dapat mengetahui bagaimana dasar pembahasan Qadha dan Qadar.
  3. Dapat menjalani hidup lebih baik lagi dalam mengimani rukun iman terutama rukun iman yang ke-enam yaitu Qadha dan Qadar.
  4. Dapat mengetahui manfaat mengimani Qadha dan Qadar.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Qadha dan Qadar Serta Kaitan di Antara Keduanya

Qadar
Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd: Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). 
Menurut Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir atau puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah: akhir atau puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai' aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdiir.” 
Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah Qadha' (kepastian) dan hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dari qadha' (kepastian) dan hukum-hukum dalam berbagai perkara. Takdir adalah merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu. Qadar itu sama dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar. 
Qadar, menurut istilah ialah Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya.  Atau  sesuatu yang telah diketahui sebelumnya dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir masa. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal yang akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali. Allah SWT pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat ter-tentu pula, maka hal itu pun terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya.  Atau Ilmu Allah, catatan takdir-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut.

Qadha'
Qadha', menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan. Asal maknanya adalah: Memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyelesaikannya. Maknanya adalah mencipta.

Kaitan Antara Qadha' dan Qadar

1. Dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan qadar ialah takdir, dan yang dimaksud dengan qadha’ ialah penciptaan, sebagaimana firman Allah SWT.
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ
"Maka Dia menjadikannya tujuh langit… ." [Fushshilat/41 : 12]
Qadha' dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha'. Barang siapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. 
2. Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha' ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. 
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha' adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.’” 
3. Dikatakan, jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di dalam pengertiannya. 

2.2 Dasar Pembahasan Masalah ‘Qadha dan Qadar’

Sesungguhnya, apabila kita meneliti masalah ‘qadha dan qadar’ (sebagai suatu istilah baru, yang memiliki makna tersendiri) akan kita dapati bahwa ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar berdirinya pembahasan ini atau dengan kata lain, apa yang menjadi dasar pembahasan dalam permasalahan qadha dan qadar ini.
Sesungguhnya, dasar pembahasan atau permasalahan ini adalah pertanyaan : 
“Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan (atau meninggalkan) suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih?”
Inilah yang menjadi dasar pembahasan masalah ‘qadha dan qadar’, yaitu ‘perbuatan manusia’. Karena ‘perbuatan manusia’ merupakan hal yang dapat diindera bahkan dapat dirasakan, maka dalil-dalilnya pun bersifat aqli. Dengan demikian jelaslah permasalahan yang akan dibahas dalam  tema ‘qadha dan qadar’ ini.
Hakikat Perbuatan Manusia dan Kejadian-kejadian yang Menimpa Manusia
Sesungguhnya, apabila kita meneliti suatu perbuatan atau kejadian, yang dilakukan atau yang menimpa manusia, akan kita jumpai bahwasanya manusia itu hidup dan beraktivitas dalam dua jenis perbuatan yaitu :
a. Perbuatan yang berada di bawah kontrol manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri
b. Perbuatan yang berada di luar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada di luar kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya.
Contoh perbuatan dan kejadian yang pertama mudah diketahui misalnya, apakah kita mau duduk atau berjalan, makan-minum atau tidak, minum sirup atau khamr, berbakti atau durhaka kepada orang tua, belajar atau tidak dan lain-lain. Seluruh perbuatan ini, jelas dilakukan atas kesadaran dan kesukarelaan manusia, tanpa paksaan dari pihak manapun. Pada jenis perbuatan yang kedua manusia tidak memiliki peran apapun atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya, sukarela maupun terpaksa, karena memang berada di luar kekuasaan manusia. Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian kedua ini terdiri dari dua bentuk. 
Pertama, kejadian yang ditentukan oleh ‘nidzom wujud’ (Sunnatullah atau peraturan alami); misalnya ia lahir dari seorang ibu dengan bentuk fisik dan warna kulit tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi, ia tidak dapat terbang dan bernafas dalam air, dsb.
Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, seperti seseorang yang terjatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang yang tertimpa tersebut meninggal, atau seperti halnya kecelakaan pesawat, kereta api dan mobil disebabkan karena kerusakan mendadak, baik yang berasal dari manusia atau yang malah di luar kemampuannya; meskipun tidak ditentukan oleh ‘nidzom wujud’, akan tetapi semua kejadian itu tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada di luar kekuasaannya. 
Segala perbuatan dan kejadian yang berada di luar kontrol manusia tersebut inilah yang dinamakan qadha (keputusan) Allah. Sebab Allahlah yang meng-’qadha’ (memutuskannya). Terlepas apakah hal atau keputusan itu menjadi kebaikan (qadha yang baik) atau keburukan (qadha yang buruk), menurut penafsiran manusia. Yang jelas, kebaikan atau keburukan tersebut bukan menimpa kita karena adanya ‘hari baik’, hari sial, memakai jimat atau mantra dsb. Semua itu diputuskan oleh Allah untuk menimpa kita. Inilah qadha Allah SWT, dan tidak ada satu makhlukpun yang dapat menentukan hal ini selain Allah semata.
Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Meskipun kejadian tersebut mengandung manfaat atau kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia tidak akan dihisab atas kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian tersebut, serta tidak tahu menahu mengenai kejadian tersebut, bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Iapun tidak memiliki kemampuan sama sekali unuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, dan bahwasanya qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain. Itulah pengertian qadha (dalam pembahasan istilah ‘qadla dan qadar’ yang digabungkan ini). 

Kewajiban Beriman Kepada Takdir

Dalam hadist shahih disebutkan dari Rasulullah saw. Bahwa beriman dengan takdir adalah satu bagian dari bab aqidah.
Umar bin Khatab r.a. menceritakan bahwa pada suatu ketika Rasulullah saw didatangi oleh seorang lelaki yang pakaiannya serba putih, rambutnya sangat hitam, bekas perjalanannya tidak terlihat dan tidak seorang dari para sahabat yang hadir disitu ada yang mengenalnya, lalu ia mengungkapkan beberapa pertanyaan. Selain perihal mengenai rukun-rukun Islam, juga rukun-rukun Iman dan Ihsan. Mengenai rukun-rukun keimanan ini, ia berkata : “Beritahukanlah Saya tentang hal keimanan”.
 Rasulullah saw lalu menjawab: 
ان تؤمن بالله والملائكته وكتبه ورسوله واليوم الأخر والقدر خيره و شره
“Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabnya, rasul-rasulNya, hari akhir dan beriman pula kepada kadar (takdir) yang baik ataupun yang buruk. (Hadist Riwayat Muslim)
Orang tersebut adalah Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat beliau saw dengan jalan tanya jawab
Makna yang gamblang dari pada takdir itu ialah bahwa Allah Ta’ala membuat beberapa ketentuan. Peraturan dan undang-undang yang diterapkan untuk segala yang maujud ini dan bahwa segala sesuatu yang maujud itu pasti akan berlaku, beredar, dan berjalan tepat dan sesuai dengan apa-apa yang telah dipastikan dalam ketentuan, peraturan dan undang-undang tadi.

Hikmat Keimanan Kepada Takdir 

Adapun hikmatnya keimanan kepada takdir itu ialah supaya kekuatan dan kecakapan manusia itu dapat mencapai kepada pengertian untuk menyadari adanya peraturan dan ketentuan-ketentuan tuhan, kemudian dilaksanakan untuk membina dan membangun dengan bersendikan itu, juga untuk mengeluarkan harta benda yang terdapat dalam perbendaharaan bumi agar dapat diambil manfaatnya. Selain itu agar dapat pula digali segala kebaikan dari benda-benda yang terdapat di dalam semesta ini.
Dengan demikian maka keimanan kepada takdir itu merupakan suatu kekuatan yang dapat membangkitkan kegiatan bekerja dan kegairahan berusaha, malahan dapat merupakan dorongan positif untuk memperoleh kehidupan yang layak dan pantas didunia ini, sebagaimana halnya keimanan kepada takdir itu akan menghubungkan manusia dengan Tuhan yang Maha Menguasai seluruh sesuatu yang nyata. Sehingga manusia dapat mengangkat dirinya kepada sifat-sifat yang luhur dan mulia. Akhirnya ia akan menjadi seorang yang enggan diperintah, tabah menghadapi kesukaran, berani membela yang hak, berhati baja untuk merealisasikan hal-hal yang benar serta melaksanakan kewajiban yang diberikan kepadanya
Beriman kepada takdir itu akan memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini hanyalah berjalan sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan oleh Dzat yang Maha Tinggi. Oleh sebab itu, jikalau ia tertimpa kemadlaratan, ia pun tidak akan menyesal, tetapi sebaliknya jikalau ia dilimpahi pertolongan dan keuntungan, ia pun tidak bergembira sehingga lupa daratan. Manakala seseorang itu sudah tidak bersifat seperti kedua hal diatas yakni tidak menyesal, lemah atau lumpuh karena timbulnya keburukan yang tidak diharapkan, juga tidak gembira yang melampaui batas karena mendapat pertolongan dan keuntungan, maka dari itu seorang manusia yang lurus, terpuji, dapat mencapai keluhuran dan ketinggian yang teratas. Inilah yang dituju dalam arti firman Allah SWT dalam Al-Hadid ayat 22-23
ما أصاب من مصيبة فالآرض ولا فى انفسكم الا في كتاب من قبل ان نبرأها. ان ذالك على الله يسير. لكيلا تأسوا علي مافاتكم ولا تفرحوا بما اتكم.والله لا يحب كل مختال فخور

Yang artinya:
“Tidak ada suatu mushibah (bencana) yang terjadi di bumi atau yang mengenai dirimu semua itu melainkan telah, tercantum dalam kitab catatan sebelum kami laksanakan terjadinya. Sesungguhnya hal yang sedemikian itu bagi Allah adalah suatu hal yang mudah sekali
“Perlunya ialah supaya kamu semua tidak berduka cita terhadap apa yang lepas dari tanganmu dan tidak pula bangga terhadap apa yang diberikan oleh Allah padamu. Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong serta membanggakan diri sendiri.”
2.3 Perilaku beriman kepada qadha dan qadhar
a. Qana’ah Dan Kemuliaan Diri.
Seseorang yang beriman kepada qadar mengetahui bahwa rizkinya telah tertuliskan, dan bahwa ia tidak akan meninggal sebelum ia menerima sepenuhnya, juga bahwa rizki itu tidak akan dicapai oleh semangatnya orang yang sangat berhasrat dan tidak dapat dicegah oleh kedengkian orang yang dengki. Ia pun mengetahui bahwa seorang makhluk sebesar apa pun usahanya dalam memperoleh ataupun mencegahnya dari dirinya, maka ia tidak akan mampu, kecuali apa yang telah Allah tetapkan baginya.
Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang telah diberikan, kemuliaan diri dan baiknya usaha, serta membebaskan diri dari penghambaan kepada makhluk dan mengharap pemberian mereka.
Hal tersebut tidak berarti bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemulian, tetapi yang dimaksudkan dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia menempuh usaha, jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa malunya.
Apabila seorang hamba dikaruniai sikap qana’ah, maka akan bersinarlah cahaya kebahagiaan, tetapi apabila sebaliknya (apabila ia tidak memiliki sikap qana’ah), maka hidupnya akan keruh dan akan bertambah pula kepedihan dan kerugiannya, disebabkan oleh jiwanya yang tamak dan rakus. Seandainya jiwa itu bersikap qana’ah, maka sedikitlah musibahnya. Sebab orang yang tamak adalah orang yang terpenjara dalam keinginan dan sebagai tawanan nafsu syahwat.

Kemudian, bahwa qana’ah itu pun dapat menghimpun bagi pelakunya kemuliaan diri, menjaga wibawanya dalam pandangan dan hati, serta mengangkatnya dari tempat-tempat rendah dan hina, sehingga tetaplah kewibawaan, melimpahnya karamah, kedudukan yang tinggi, tenangnya bathin, selamat dari kehinaan, dan bebas dari perbudakan hawa nafsu dan keinginan yang rendah. Sehingga ia tidak mencari muka dan bermuka dua, ia pun tidak melakukan sesuatu kecuali hal itu dapat menambah imannya, dan hanya kebenaranlah yang ia junjung.
Di antara kalimat yang indah berkenaan dengan hal ini adalah sya’ir yang dinisbatkan kepada Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu: Qana’ah memberikan manfaat kepadaku berupa kemuliaan adakah kemuliaan yang lebih mulia dari qana’ah Jadikanlah ia sebagai modal bagi dirimu kemudian setelahnya, jadikanlah takwa sebagai barang dagangan. Niscaya akan engkau peroleh keuntungan dan tidak perlu memelas kepada orang yang bakhil Engkau akan memperoleh kenikmatan dalam Surga dengan kesabaran.
Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullahu: Aku melihat qana’ah sebagai perbendaharaan kekayaan maka aku pegangi ekor-ekornya Tidak ada orang yang melihatku di depan pintunya dan tidak ada orang yang melihatku bersungguh-sungguh dengannya Aku menjadi kaya dengan tanpa dirham dan aku berlalu di hadapan manusia seperti raja. Tsa’alabi berkata, “Sebaik-baik ucapan yang saya dengar tentang qana’ah ialah ucapan. Ibnu Thabathaba al-‘Alawi: Jadilah engkau orang yang qana’ah dengan apa yang diberikan kepadamu maka engkau telah berhasil melewati kesulitan qana’ah orang yang hidup berkecukupan Sesungguhnya usaha dalam mencapai angan, nyaris membinasakan dan kebinasaan seseorang terletak dalam kemewahan.
b. Cita-Cita Yang Tinggi.
Maksud dari cita-cita yang tinggi adalah menganggap kecil apa yang bukan akhir dari perkara-perkara yang mulia. Sedangkan cita-cita yang rendah, yaitu sebaliknya dari hal itu, ia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna, ridha dengan kehinaan, dan tidak berusaha tuk menggapai perkara-perkara yang mulia. Iman kepada qadar membawa pelakunya kepada kemauan yang tinggi dan menjauhkan mereka dari kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah kepada yang dinamakan dengan takdir.
Karena itu, Anda melihat orang yang beriman kepada qadar dengan keimanan yang benar adalah tinggi cita-citanya, besar jiwanya, mencari kesempurnaan, dan menjauhi perkara-perkara remeh dan hina. Ia tidak rela kehinaan untuk dirinya, tidak puas dengan keadaan yang pahit lagi menyakitkan, dan tidak pasrah terhadap berbagai aib dengan dalih bahwa takdir telah menentukannya. Bahkan keimanannya mengharuskannya untuk berusaha bangkit, mengubah keadaan yang pahit serta menyakitkan kepada yang lebih baik dengan cara-cara yang disyari’atkan, dan untuk terbebas dari berbagai aib dan kekurangan. Karena berdalih dengan takdir hanyalah dibenarkan pada saat tertimpa musibah, bukan pada aib-aib (yang dilakukannya)
c. Bertekad Dan Bersungguh-Sungguh Dalam Berbagai Hal. 
Orang yang beriman kepada qadar, ia akan bersungguh-sungguh dalam berbagai urusannya, memanfaatkan peluang yang datang kepadanya, dan sangat menginginkan segala kebaikan, baik akhirat maupun dunia. Sebab, iman kepada qadar mendorong kepada hal itu, dan sama sekali tidak mendorong kepada kemalasan dan sedikit beramal. Bahkan, keimanan ini memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong para tokoh untuk melakukan pekerjaan besar, yang mereka menduga sebelumnya bahwa kemampuan mereka dan berbagai faktor yang mereka miliki pada saat itu tidak cukup untuk menggapainya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah! Jika sesuatu menimpamu, janganlah mengatakan, 'Seandainya aku melakukan, niscaya akan demikian dan demikian.' Tetapi katakanlah, 'Ini takdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.
d. Bersikap Adil, Baik Pada Saat Senang Maupun Susah. 
Iman kepada qadar akan membawa kepada keadilan dalam segala keadaan, sebab manusia dalam kehidupan dunia ini mengalami keadaan bermacam-macam. Adakalanya diuji dengan kefakiran, adakalanya mendapatkan kekayaan yang melimpah, adakalanya menikmati kesehatan yang prima, adakalanya diuji dengan penyakit, adakalanya memperoleh jabatan dan popularitas, dan adakalanya setelah itu dipecat (dari jabatan), hina, dan kehilangan nama.
Perkara-perkara ini dan sejenisnya memiliki pengaruh dalam jiwa. Kefakiran dapat membawa kepada kehinaan, kekayaan bisa mengubah akhlak yang baik menjadi kesombongan, dan perilakunya menjadi semakin buruk. Sakit bisa mengubah watak, sehingga akhlak menjadi tidak lurus, dan seseorang tidak mampu tabah bersamanya. Demikian pula kekuasaan dapat mengubah akhlak dan meng-ingkari sahabat karib, baik karena buruknya tabiat maupun sem-pitnya dada.
Sebaliknya dari hal itu ialah pemecatan. Adakalanya hal itu dapat memburukkan akhlak dan menyempitkan dada, baik karena kesedihan yang mendalam maupun karena kurangnya kesabaran.Begitulah, keadaan-keadaan tersebut menjadi tidak lurus pada garis keadilan, karena keterbatasan, kebodohan, kelemahan, dan kekurangan dalam diri hamba tersebut.
  Kecuali orang yang beriman kepada qadar dengan sebenarnya, maka kenikmatan tidak membuatnya sombong dan musibah tidak membuatnya berputus asa, kekuasaan tidak membuatnya congkak, pemecatan tidak menurunkannya dalam kesedihan, kekayaan tidak membawanya kepada keburukan dan kesombongan, dan kefakiran pun tidak menurunkannya kepada kehinaan.
Orang-orang yang beriman kepada qadar menerima sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu, dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala, bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata, “Aku memasuki waktu pagi, sedangkan kebahagiaan dan kesusahan sebagai dua kendaraan di depan pintuku, aku tidak peduli yang manakah di antara keduanya yang aku tunggangi.”

e. Selamat Dari Kedengkian Dan Penentangan. 
Iman kepada qadar dapat menyembuhkan banyak penyakit yang menjangkiti dikalangan masyarakat, di mana penyakit itu telah menanamkan kedengkian di antara mereka, misalnya hasad yang hina. Orang yang beriman kepada qadar tidak dengki kepada manusia atas karunia yang Allah berikan kepada mereka, karena keimanan-nya bahwa Allah-lah yang memberi dan menentukan rizki mereka. Dia memberikan dan menghalangi dari siapa yang dikehendaki-Nya, sebagai ujian. Apabila dia dengki kepada selainnya, berarti dia me-nentang ketentuan Allah. Jika seseorang beriman kepada qadar, maka dia akan selamat dari kedengkian, selamat dari penentangan terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i (syari’at) dan ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah), serta  tawakkal .

2.3 Tanda-tanda orang yang Beriman kepada Qada dan qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain: 

a) banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian 
Firman Allah: 
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).

b) Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT: Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)

c) Bersifat optimis dan giat bekerja.
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
Firaman Allah: 
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)

d) Jiwanya tenang
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha.
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku.( QS. Al-Fajr ayat 27-30)

2.5 Konsep Takdir menurut beberapa aliran islam

1. Aliran Jabbariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya

2. Aliran Qaddariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.

3. Aliran Al Asyari’ah
Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan jalan hidup para sahabatnya. Atau, golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Aliran Ahlu sunnah ini adalah pertengahan diantara dua konsep yang dimiliki dua aliran di atas. Menurut Ahlu Sunnah konsep takdir memang ditentukan oleh dzat diluar kemampuan manusia, yaitu tuhan. Hanya saja takdir itu sendiri dapat diubah dengan kesungguhan manusia, bila manusia tidak berusaha dalam mengubah takdirnya ia akan berakhir sia-sia, dan termasuk golongan orang-orang yang merugi. 

2.6 Manfaat mengimani Qadha dan Qadar
Dengan mengimani qadha dan qadar, kita dapat mengambil beberapa manfaat, antara lain :
1. dapat membangkitkan semangat dalam bekerja dan berusaha, serta memberikan dorongan untuk memperoleh kehidupan yang layak di dunia ini.
2. Tidak membuat sombong atau takabur, karena ia yakin kemampuan manusia sangat terbatas, sedang kekuasaan Allah Maha Tinggi.
3. Memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini berjalan sesuai dengan ketentuan dan kehendak Allah SWT.
4. mempunyai keberanian dan ketabahan dalam setiap usaha serta tidak takut menghadapi resiko, karena ia yakin bahwa semua itu tudak terlepas dari takdir Allah SWT.
5. Selalu merasa rela menerimasetiap yang terjadi pada dirinya, karena ia mengerti bahwa semua berasal dari Allah SWT. Dan akan dikembalikan kepadanya , sebagai man firman Allah SWT

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi dapat disimpilkan bahwa iman adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan. Kalau kita melihat qada’ menurut bahasa artinya Ketetapan. Qada’artinya ketetapan Allah swt kepada setiap mahluk-Nya yang bersifat Azali. Azali Artinya ketetapan itu sudah ada sebelumnya keberadaan atau kelahiran mahluk. Sedangkan Qadar artinya menurut bahasa berarti ukuran. Qadar artinya terjadi penciptaan sesuai dengan ukuran atau timbangan yang telah ditentukan sebelumnya. Qada’ dan Qadar dalam keseharian sering kita sebut dengan takdir.  Jadi, Iman kepada qada’ dan qadar adalah percaya sepenuh hati bahwa sesutu yang terjadi, sedang terjadi, akan terjadi di alam raya ini, semuanya telah ditentukan Allah SWT sejak jaman azali. 
Hal yang dapat memutuskan harapan kepada makhluk dari hati adalah ridha dengan pembagian Allah Azza wa Jalla (qana’ah). Barangsiapa ridha dengan hukum dan pembagian Allah, maka tidak akan ada tempat pada hatinya untuk berharap kepada makhluk.

Daftar pustaka
Sabiq, Sayyid. 2010. Aqidah Islam (Ilmu Tauhid) Cetakan XVIII. Bandung: Penerbit Diponegoro.
http://almanhaj.or.id/content/2168/slash/0/definisi-qadha-dan-qadar-serta-kaitan-di-antara-keduanya/
http://hbis.wordpress.com/2007/12/10/iman-kepada-qadha-dan-qadar/
http://leniblogs.blogspot.com/2013/02/iman-kepada-qadha-dan-qadar.html
http://ms.wikipedia.org/wiki/Qada_dan_Qadar

CONTOH RESPONSE ESSAY

RESPONSE ESSAY OUTLINE
INTRODUCTION
Summary of the Euthanasia essay

Euthanasia is ending one's life if one has a terminal disease is an incurable condition, and is done by a lethal injection. The po
The author disagree with legalize of euthanasia, even there was lisence from doctor. Doctor is a healer, care taker, but if doctor suggest the eutanasia, there was no differences between doctor and murder. And murder must get court of law.

Euthanasia separate into two types:
1.       Passive euthanasia, when doctor doesn’t prevent to death, they only allow the patient who have terminal discease. (natural)
2.       Active euthanasia, when doctor take the direct action to cause death ( Unnatural)













I agree..
With the author argument



BODY
There was many ways to heal, at least we must try first to caretaker. But if it was terminal discease,
Only let them flow, as natural





Backings
                                                                                                                                                                    
We see that euthanasia was created by pshyco murder, with cover f docter. Kevorkian was famous with this topic, some of people makes novel about it.





Opposing Argument

But some people who agree, euthanasia is only way to help them who have terminal discease from pain. So they thought that death is better than terminal sick.



Refutations

Th fact euthanasia is inject some poison inrto body, and when it reaction, the E must be pain atleat for an our. So theres no safe from harm

CONCLUSION
Euthanasia can allowed in several case,but doctor must workhard to find the solution beside euthanasia. And there must sme or doctor who specialize of it, so eutanasia cant be use for general.

PSIKOLOGI MOTIVASI

I. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Motivasi adalah faktor yang mendorong perilaku manusia untuk melakukan suatu tindakan. Banyak sekali orang yang salah mengartikan tindakan seseorang yang di luar rasional manusia. Contohnya perilaku orang-orang Abnormal, yang memiliki gangguan. Entah gangguan pada pola makan, seks, atau mental. Semua ini tak luput dari faktor motivasi yang mempengaruhinya. Disamping faktor internal, motivasi pun timbul karena rangsangan faktor eksternal atau lingkungan sekitar. Banhyak ahli yang mencoba membahas dan mengupas tentang motivasi dengan cara membentuk teori-teori. Diantaranya yang terkenal adalah teori Hirarki yang di bentuk oleh Abraham Maslow. Masih banyak lagi teori lainya yang akan di bahas pada makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah:
1.   Apa yang dimaksud dengan Motivasi ?
2.  Apa saja teori-teori yang membahas tentang Motivasi ?
3.  Apakah hubungan Disorder (gangguan) dangan Motivasi ?

II. PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN MOTIVASI
Istilah motivasi digunakan untuk menjelaskan adanya daya atau kekuatan yang mendorong dan mengarahkan organisme untuk melakukan aktivitas tertentu. Di sini perlu diketahui bahwa beberapa ahli secara tidak lansung menyebut kata motivasi seperti William James, William McDougal, Konrad Lorenz dan Niko Timbergen menyebutnya dengan insting, Sigmund Freud dengan istilah energi psikis, Robert Session Woodworth dan Clark Hull dengan drive, Kurt Lewin dengan force atau vector Skinner dengan reinforcement serta Abraham Maslow dan Alderfer dengan kebutuhan (need). Istilah tersebut di atas dalam konteksnya masing-masing berkonotasi dengan motivasi. Kurang lebih ditemukan 102 istilah  definisi dan statemen-statemen yang berkonotasi dengan  motivasi dalam tulisan-tulisan dan topik-topik yang berbeda. Sekalipun terdapat banyak definisi yang berbeda, tapi secara umum memberikan gambaran bahwa karakteristik dari motivasi adalah wilayah yang berfungsi mengaktifkan perilaku.
Sehubungan dengan pengertian motivasi sebagai daya atau kekuatan yang mendorong dan mengarahkan organisme untuk melakukan aktivitas tertentu tadi,   dapat  disimak beberapa pendapat para ahli tentang motivasi sebagai berikut:
McMachon dan McMachon (1986), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu proses yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan. 
Menurut Teevan dan Smith (1967), motivasi adalah suatu konstruksi yang mengaktifkan dan mengarahkan prilaku dengan cara memberi dorongan atau daya pada organisme untuk melakukan suatu aktivitas. 
Petri (1981 & 1996), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu konsep yang digunakan untuk menjelaskan adanya kekuatan di dalam organisme yang mendorong dan mengarahkan perilaku.
Membahas tentang motivasi, maka yangtercakup di dalamnya adalah arah dan persistensi . Motivasi merupakan penggerak dan pemberi arah dalam proses munculnya perilaku serta pemberdaya terhadap perilaku yang ada, sehingga perilaku tersebut tetap persisten (berkesinambungan) sampai tujuan tercapai. Motivasi sebagai pemberi arah, tentunya arah dimaksud tertuju pada objek yang berkaitan dengan tujuan perilaku. Atau sebaliknya, mengarahkan untuk menghindari objek dimaksud. Oleh karena itu motivasi dapat dikatakan pula sebagai kontrol terhadap perilaku .Di sini dapat dipahami, bahwa dengan adanya motivasi maka akan muncul suatu proses yang mendorong dan mengarahkan organisme pada suatu tindakan tertentu dan berlangsung secara persisten sehingga tujuan tercapai.

2.2 MOTIVASI DALAM BERBAGAI PENDEKATAN DAN TEORI
A. MOTIVASI DALAM PENDEKATAN KOGNITIF
Pendekatan ini memandang bahwa motivasi yang mendorong organisme atau menggerakkan dan mengarahkan organisme untuk melakukan tindakan tertentu tersebut, distimulasi oleh dua faktor, yaitu:
faktor  internal seperti haus, lapar, rasa sakit dan kondisi-kondisi fisiologis yang lain. Contohnya: Kondisi lapar akan mendorong individu untuk untuk pergi ke ruang makan atau mencari restoran dan rasa haus akan mendorong individu untuk membuka lemari pendingin untuk mengambil minuman.
faktor eksternal yaitu stimulasi-stimulasi yang datangnya dari lingkungan. 
Contohnya: Irama musik memotivasi orang untuk berdansa, atau seseorang yang masuk perguruan tinggi, dengan maksud untuk mendapatkan gelar sarjana (Dekkers, 20001). 
Namun ada yang harus diperhatikan, sekalipun motivasi dapat distimulasi oleh faktor eksternal, keberadaan motivasi tetap ada pada dunia internal yaitu di dalam organisme. Dalam kaitannya dengan kemunculan motivasi, dominasi dari salah satu faktor di atas, akan menentukan kualitas dari motivasi yang dimaksud. 
Apabila yang dominan faktor eksternal, maka motivasi yang ada dikatagorikan pada motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik, biasanya dipicu oleh objek eksternal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar. Misalnya orang melakukan aktivitas dalam rangka untuk mendaptkan makanan dan minuman. 
Apabila yang dominan adalah faktor internal, maka motivasi dimaksud dikatagorikan sebagai motivasi intrinsik. Orang yang melakukan sesuatu didasari oleh motivasi intrinsik, akan mendapatkan kepuasan tidak pada hasil (outcome) yang berkaitan dengan imbalan terutama materi yang berkaitan dengan aktivitas tersebut; akan tetapi kepuasan yang didapat terletak pada aktivitas itu sendiri.
Motivasi, baik yang intrinsik ataupun ekstrinsik adalah kondisi internal yang merupakan kekuatan atau dorongan yang ada dalam organisme. Motivasi ekstrinsik cenderung mengarahkan perilaku untuk mendapatkan kompensasi atau insentif dari dunia eksternal, baik yang berupa materi atau non materi.


B. MOTIVASI DALAM PENDEKATAN EVOLUSIONER
Adalah pendekatan yang menekankan pada fungsi dari tujuan untuk menjelaskan bagaimana suatu perilaku terbentuk, berkembang,dan bertahan.Dalam motivasi pendekatan ini,lebih ditekankan peran dari naluri atau insting. Motivasi hanya terjadi karena adanya dorongan oleh hal-hal tersebut. Contoh: misalnya yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan berketurunan, dengan insting tersebut maka setiap manusia mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhan didalam hidupnya agar ia bisa bertahan hidup.

C. TEORI-TEORI MOTIVASI
Untuk memahami teori mengenai motivasi, bisa dilihat dari cara pendekatannya, baik yang  instingtif, behavioris ataupun yang kognitif. Pendekatan instingtif sering disebut dengan istilah pendekatan fisiologis atau biologis. Pendekatan behavioris atau pendekatan yang didasarkan pada teori belajar mencakup teori drive, insentif, kondisioning klasik, kondisioning operan dan modeling. Pendekatan kognitif meliputi teori keseimbangan kognitif, harapan, efek sosial dan pertumbuhan. Begitu banyak teori tentang motivasi hanya saja karna jangkauanya terlalu luas, maka dalam pembahasan ini akan kami persempit dengan memberi contoh kasus yang didasari  dua teori yang dianggap dapat menjadi gambaran utuh dari semua teori motivasi yang ada, teori-teori itu antara lain:

1. MOTIVASI DALAM TEORI KESEIMBANGAN
Setiap manusia menginginkan segala sesuatu berjalan seimbang. Kebutuhan untuk mencari keseimbangan inilah yang akan menimbulkan dorongan atau motivasi untuk berbuat sesuatu. Setelah perbuatan itu dilakukan, maka tercapailah keadaan seimbang dalam diri individu, dan timbul perasaan puas, gembira, aman dan sebagainya. Kecenderungan untuk mengusahakan keseimbangan dari ketidakseimbangan terdapat pada tiap organisme dan manusia. Hal ini disebut sebagai prinsip Homeostasis.

2. MOTIVASI DALAM TEORI HIRARKI
Dikemukakan oleh Abraham Maslow berpendapat bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi mengejar yang bersinambung. Jika satu kebutuhan terpenuhi, langsung kebutuhan tersebut diganti oleh kebutuhan lain. motivasi manusia menurutnya dipengaruhi lima faktor penting yang membentuk bangunan piramida, sesuai dengan tingkat besar-kecilnya kebutuhan yang mempengaruhi motivasi tersebut, yaitu: 
• Aktualisasi diri: keinginan akan kebebasan bertingkah laku tanpa hambatan dari luar untuk menjadikan diri sendiri sesuai dengan citra dirinya.
• Penghargaan: keinginan untuk memperoleh penghargaan.
• Sosialisasi: kebutuhan untuk berhubungan dengan sesama dan cinta kasih.
• Keamanan : kebutuhan akan rasa aman.
• Psikologis dan biologis :
~ kebutuhan psikologis seperti kebutuhan akan kesenangan dan kebahagiaan.
~ Kebutuhan biologis seperti lapar dan haus.

3. MOTIVASI DALAM TEORI EKSISTENSI-RELASI-PERTUMBUHAN
Teori motivasi ini yang dikenal sebagai teori ERG sebagai singkatan dari Existence, Relatedness, dan Growth needs, dikembangkan oleh Alderfer, dan merupakan satu modifikasi dan reformulasi dari teori tata tingkat kebutuhan dari Maslow. Alderfer mengelompokkan kebutuhan ke dalam tiga kelompok:
• Kebutuhan eksistensi (existence needs), merupakan kebutuhan akan substansi material seperti keinginan untuk memperoleh makanan, air, perumahan, uang, mebel, dan mobil.
• Kebutuhan hubungan (relatedness needs), merupakan kebutuhan untuk membagi pikiran dan perasaan dengan orang lain dan membiarkan mereka menikmati hal-hal yang sama dengan kita.
• Kebutuhan  pertumbuhan (growth needs), merupakan kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan kecakapan mereka secara penuh
Teori ERG menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan eksistensi, hubungan dan pertumbuhan terletak pada satu kesinambungan kekonkretan, dengan kebutuhan eksistensi sebagai kebutuhan yang paling konkret dan kebutuhan pertumbuhan sebagai kebutuhan yang paling kurang konkret (abstrak).


4. MOTIVASI DALAM TEORI DUA FAKTOR ( X dan Y )
Teori dua faktor dinamakan teori hygiene-motivasi dikembangkan oleh Herzberg. Menggunakan metode insiden kritikal, ia mengumpulkan data dari 203 akuntan dan sarjana teknik. Faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yang ia namakan faktor motivator, mencakup faktor-faktor yang berkaitan dengan isi dari pekerjaan, yang merupakan faktor intrinsik dari pekerjaan yaitu:
Tanggung jawab (responsibility)
Kemajuan (advancement)
Pekerjaan itu sendiri
Capaian (achievement)
Pengakuan (recognition)
Kelompok faktor yang lain yang menimbulkan ketidakpuasan, berkaitan dengan konteks dari pekerjaan dengan faktor-faktor ekstrinsik dari pekerjaan,  meliputi faktor-faktor:
Administrasi
Penyeliaan
Gaji
Hubungan antarpribadi
Kondisi kerja

5. MOTIVASI DALAM TEORI MOTIVASI BERPRESTASI (Achievement motivation)
Teori motivasi berpretasi dikembangkan oleh David McClelland. Sebenarnya lebih tepat teori ini disebut teori kebutuhan dari McClelland , karena ia tidak saja meneliti tentang kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), tapi juga tentang kebutuhan untuk berkuasa (need for power), dan kebutuhan untuk berafiliasi/ berhubungan (need for affiliation). Hanya saja Penelitian yang paling banyak dilakukan adalah penelitian terhadap kebutuhan untuk berprestasi.
Kebutuhan untuk Berprestasi (Need for Achievement)
Kebutuhan untuk berkuasa ialah adanya keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi orang lain, dan untuk memiliki dampak terhadap orang lain.
Kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation). Kebutuhan yang ketiga ialah kebutuhan untuk berafiliasi (need for affiliation=nAff. Kebutuhan ini yang paling sedikit mendapat perhatian dan paling sedikit diteliti.
2.3  KASUS MOTIVASI DI KEHIDUPAN
HUNGER (rasa lapar)
a) Hubungannya dengan motivasi:
Seperti contoh pendekatan evolusioner kebutuhan instinglah yang memotivasi manusia agar melakukan segala hal supaya ia dapat bertahan hidup. Rasa lapar dalam psikologi merupakan suatu bentuk kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan menimbulkan motivasi dari dirinya untuk makan.
b) Faktor biologis dari lapar:
Lapar dapat terjadi karena adanya stimulasi dari suatu faktor lapar, yang akan mengirimkan impuls tersebut ke pusat lapar di otak, yakni hipotalamus bagian lateral, tepatnya di nucleus bed pada otak tengah yang berikatan serat pallidohypothalamus. Otak inilah yang akan menimbulkan rasa lapar pada manusia. Setelah tubuh mendapat cukup nutrisi yang ditentukan oleh berbagai faktor, maka akan mengirim impuls ke pusat kenyang yakni di nucleus ventromedial di hipotalamus. Kemudian tubuh akan merasa puas akan makan, sehingga kita akan berhenti makan.
c) Perilaku makan dan kelainan pola makan
Manusia makan saat ia merasa lapar.Kelaparan yaitu suatu kondisi di mana tubuh masih membutuhkan makanan, biasanya saat perut telah kosong untuk waktu yang cukup lama. Apabila seseorang mempunyai perilaku makan yang berlebihan tanpa diimbangi dengan metabolisme dan aktifitas yang seimbang, maka orang tersebut berpotensi mengalami obesitas. Dan bila kekurangan asupan gizi akan terjadi gangguan (disorder).

OBESITAS
Untuk mengetahui tanda dari obesitas (berat badan berlebih) maka bisa diukur dengan menyamakan ukuran berat badan dengan ukuran Obesitas yang digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40% dari berat badannya
Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100% dari berat badannya
Obesitas berat : kelebihan berat badan >100% dari berat badannyaObesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan.


GANGGUAN MAKAN (eating disorder)
Gangguan makan ada dua macam yaitu:
Anorexia nervosa adalah sebuah gangguan makan yang ditandai dengan kelaparan secara sukarela dan stres. Anorexia nervosa merupakan sebuah penyakit kompleks yang melibatkan komponen psikologi, sosial, dan fisiologi. Seseorang yang menderita anorexia disebut sebagai anoreksik., yang berarti orang yang menderita gejala medis kehilangan nafsu makan. Pada Anorexia pada mulanya sang penderita mengurangi porsi makannya untuk melakukan diet tetapi gejala ini memburuk ditandai dengan mengurangi makan secara berlebihan.
Bulimia nervosa adalah kelainan cara makan yang terlihat dari kebiasaan makan berlebihan yang terjadi secara terus menerus,tetapi berusaha agar makanan tidak tercerna. Yang paling sering dilakukan oleh lebih dari orang dengan Bulimia nervosa adalah membuat dirinya muntah (kadang-kadang disebut pembersihan) Pada Bulimia penderita bulimia tidak mengurangi porsi makan mereka, malah makan dalam jumlah besar, kemudian mengeluarkan kembali makanan itu dengan cara memuntahkannya atau dengan minum obat pencuci perut. Mereka percaya bahwa dengan cara ini mereka tidak akan gemuk.
Aneroxia dan bulimia nervosa Sama-sama merupakan gejala  penyakit yang timbul dari motivasi seseorang untuk menghindari kegemukan yang menyebabkan kelainan dalam perilaku makan dan mengakibatkan kekurangan gizi pada penderita.
d) Hubungan dengan motivasi
Menurut kelompok kami hubungan antara Eating disorder dengan Motivasi dapat dijelaskan dengan Teori Motivasi Keseimbangan dan Hirarki Maslow. Bagi penderita anorexia dan Bulimia, mereka memandang bahwa kegemukan merupakan sesuatu yang dianggap tidak seimbang dalam hidup seperti dalam Teori Motivasi Keseimbangan. Untuk itu sang penderita berusaha mengatasi ketidakseimbangan tersebut dengan  mengurangi berat badan. Apabila mereka merasa sudah hal ini sudah seimbang dengan mendapatkan berat badan yang ideal, mereka mencapai tahap kebahagiaan dan dasar untuk mendapatkan kepercayaan diri atau aktualisasi diri, seperti yang dikatakan didalam Hirarki Maslow



III. KESIMPULAN
Motivasi adalah kekuatan yang berada dalam diri seseorang, guna mendorongnya untuk melakukan apapun. Entah hal-hal yang menjadi kebutuhan pokok manusia, hingga hal-hal yang diluar rasional kita. Sehingga motivasi pun harus diarahkan kepada hal yang baik, agar tidak membuatnya menjadi sebuah gangguan (disorder). Gangguan yang disebabkan motivasi pun beraneka ragam, contohnya bulimia dan aneroxia yang sangat berkaitan dengan pola makan manusia. Hanya saja untuk lebih mendalaminya akan dibahas lebih lanjut di bagian “Psikologi Abnormal”. Motivasi terbentuk tak luput dari faktor internal atau dalam diri seseorang itu sendiri, maupun eksternal yang dimaksud lingkungan sekitarnya. Maka bila terjadi gangguan yang terjadi pada diri seseorang, janganlah lupa bahwa kita memiliki andil untuk mengobatinya.

FIlSAFAT EKSISTENSIALISME

 BAB I
PENDAHULUAN

Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan pengertiannya. Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).

Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.

Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.


B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.[6] Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji[7]. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

1. Materialisme

Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]

2. Idealisme

Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.[9]

3. Situasi dan Kondisi Dunia

Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.[10]


C. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya

Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.

1. Soren Aabye Kierkegaard

Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan menjadi Pastor Lutheran.[11]

Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948). [12]

Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:

a. Tentang Manusia

Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.[13]

Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.[14]

Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[15] Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.[16]
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.[17]

b. Pandangan tentang Eksistensi

Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.[18]

Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.[19]

• Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.

• Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).

• Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.



c. Teodise

Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.[20]

Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.[21]

2. Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.[22]

Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.[23]

Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir yang memuja idealisme.[24]

Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.[25]

Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:

a. Tentang Manusia

Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.[26]

Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.[27]

2. Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi

Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).

a. L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)

L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.[28]

b. L'etre-pour-Soi

Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.[29]

3. Mauvaise Foi

Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.[30]

4. Kebebasan

Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.[31]

Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[32]


  • Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
  • Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
  • Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:Kanisius.
  • Hasan, Fuad. 1974. Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang.
  • Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
  • Titus, Smith dan Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi Jakarta:Bulan Bintang.
____________
[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[3] Ibid.
[4] Hasan, Kita dan Kami, hlm. 7.
[5] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192-193.
[6] Ibid, hlm. 190.
[7] R.F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11.
[8] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192.
[9] Ibid, hlm. 193-194.
[10] Ibid, hlm. 194.
[11] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka Cipta. 1990), cet. ke-1, hlm. 47.
[12] ibid, hlm. 48-49.
[13] Ibid, hlm. 49
[14] Ibid.
[15] Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 195
[16] Smith Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan Bintang. 1984), hlm. 388.
[17] Ibid.
[18] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm. 50-51.
[19] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm. 125.
[20] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.52.
[21] Nolan, Persoalan-persoalan, hlm. 388.
[22] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.94.
[23] Ibid.
[24] Ibid, hlm. 95
[25] Ibid, hlm. 95-96.
[26] Ibid, hlm. 96.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm 100-102.
[29] Ibid, hlm. 102.
[30] Ibid, hlm. 106.
[31] Ibid, hlm. 106-108.

[32] Ibid, hlm. 108.