BAB I
PENDAHULUAN
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan
kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya
eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik
filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral Namun tidak ada salahnya, untuk memberikan
sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan dipaparkan
pengertiannya. Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari
bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi,
eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan
keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri
sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut
dasein (da artinya di sana, sein artinya berada).
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian
bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan
alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu
mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia
selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang
filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat
eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti
arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia
berada di dunia; sapi dan pohon juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama.
Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami beradanya di dunia itu; manusia
menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan
mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu
di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa
manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar.
Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.
B.
Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat eksistensialisme adalah salah satu
aliran filsafat yang mengguncangkan dunia walaupun filsafat ini tidak luar
biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik.[6]
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi
krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba
apakah ia dapat tahan uji[7]. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari
satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir
dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada
sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu
pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang
materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka
mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada
instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain
materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]
2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai
subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran
secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan
lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.[9]
3. Situasi dan
Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh
situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa
pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah
menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh
imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut
konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang
mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara
itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada
kehidupan.[10]
C.
Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak,
di antaranya: Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger,
Gabriel Marcel, dan Sartre. Namun dalam makalah ini penulis membatasi pada dua
tokoh ini yang dipandang mewakili tokoh-tokoh lainnya, yaitu Soren Aabye
Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
1. Soren Aabye
Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di
Kopenhagen, Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44
tahun. Ia mulai belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras
pemikiran Hegel yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini
ia apatis terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama.
Setelah mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan
dan menjadi Pastor Lutheran.[11]
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku
pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini
sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras
asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam
Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript)
tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek.
Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844).
Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger
(Work of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan
Sygdomen Til Doden (The Sickness into Death) tahun 1948). [12]
Ide-ide pokok
Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
a. Tentang
Manusia
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam
diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya
tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan
ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di
Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf
eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.[13]
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan
pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak
memperlihatkan "wujud" secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang
sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang
otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu
filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik
dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas
manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua
adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir
secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama
yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.[14]
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel.
Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang
kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut
Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum",
tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat
dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[15] Kierkegaard sangat tidak suka pada
usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable)
dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan
alasan-alasan obyektif.[16]
Penekanan
Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya,
pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak
menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi
penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.[17]
b. Pandangan
tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang
eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan
utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia
bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak
dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang
mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki
kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu
sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu
muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani
mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita
tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak
bereksistensi dalam arti sebenarnya.[18]
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi,
yaitu estetis, etis, dan rligius.[19]
• Eksistensi
estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia
sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang
dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak
mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
• Eksistensi
etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada
hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai
dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual
(estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
• Eksistensi
religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut,
yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan
pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman
religius.
c. Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam,
antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia
menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika.
Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan
manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu
dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan,
maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini
memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak
lagi masuk akal.[20]
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen
itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di
sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan
agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila
seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran
atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga
salah secara mutlak.[21]
2. Jean Paul
Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21
Juni 1905 di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang
Perwira Besar Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang
mengajar bahasa modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya
meninggal, terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di
bawah pengaruh kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni
dunia ilmu pengetahuan dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal.
Pengalaman masa kecil ini memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les
Most (kata-kata) berisi nada negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya.[22]
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen
protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan
pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia memngaku sama
sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia
berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia
menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.[23]
Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia
hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah karena
bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam
perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum
kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme
dan para pemikir yang memuja idealisme.[24]
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru
filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl.
Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat
eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan
dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang
Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya.
Eksistensialisme dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk
tokoh yang membantu gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia.
Dengan lantang ia mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan
atau tidak dapat mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia
harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain
adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.[25]
Ide-ide pokok
Sartre adalah sebagai berikut:
a. Tentang
Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan
untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu
mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang
jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan
keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel
semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946),
ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan
kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir.
Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas
tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.[26]
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari
adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia
mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang
memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih
kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak
manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang
manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan
setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam
eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia.
Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab
sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan
eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia.
Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung
keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.[27]
2. Dua Tipe
Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam
karya monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia,
ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk
dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a.
L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan
dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga
tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan
dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak
mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang
berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan,
dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi
ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai
sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka
bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik
semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.[28]
b.
L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas
seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai
hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu
tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam
kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang
menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.[29]
3. Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri
seseorang terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang
mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut
membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan
diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang
benar mengenai diri sendiri.[30]
4. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada
konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre
memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi,
maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang.
Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan
akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar
menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena
setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang
menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan
suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu
tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu
sendiri.[31]
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat
dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif.
Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide
dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan
sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir
yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah.
Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu
pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark
terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan
dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang
baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu
dinilai relevan untuk masa kini.[32]
- Beerling,
R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
- Dagun,
Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
- Hadiwijono,
Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:Kanisius.
- Hasan,
Fuad. 1974. Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang.
- Tafsir,
Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
- Titus,
Smith dan Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi
Jakarta:Bulan Bintang.
____________
[1] Fuad Hasan,
Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[2] Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[3] Ibid.
[4] Hasan, Kita
dan Kami, hlm. 7.
[5] Tafsir,
Filsafat Umum, hlm192-193.
[6] Ibid, hlm.
190.
[7] R.F. Beerling,
Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm. 11.
[8] Tafsir,
Filsafat Umum, hlm192.
[9] Ibid, hlm.
193-194.
[10] Ibid, hlm.
194.
[11] Save M.
Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka Cipta. 1990), cet. ke-1, hlm.
47.
[12] ibid, hlm.
48-49.
[13] Ibid, hlm.
49
[14] Ibid.
[15] Tafsir,
Filsafat Umum, hlm. 195
[16] Smith
Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan
Bintang. 1984), hlm. 388.
[17] Ibid.
[18] Dagun,
Filsafat Eksistensialisme, hlm. 50-51.
[19] Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm.
125.
[20] Dagun,
Filsafat Eksistensialisme, hlm.52.
[21] Nolan,
Persoalan-persoalan, hlm. 388.
[22] Dagun,
Filsafat Eksistensialisme, hlm.94.
[23] Ibid.
[24] Ibid, hlm.
95
[25] Ibid, hlm.
95-96.
[26] Ibid, hlm.
96.
[27] Ibid.
[28] Ibid, hlm
100-102.
[29] Ibid, hlm.
102.
[30] Ibid, hlm.
106.
[31] Ibid, hlm.
106-108.
[32] Ibid, hlm.
108.
0 komentar:
Posting Komentar